Diplomasi iklim Indonesia mendapat sorotan saat COP30 menyoroti kontradiksi batubara dan hutan

Ketika para pemimpin dunia berkumpul pada Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP30) ke-30 di Belém, Brazil, Indonesia menghadapi kritik yang meningkat dari kelompok masyarakat sipil atas apa yang mereka gambarkan sebagai kesenjangan yang semakin lebar antara diplomasi iklim dan kebijakan ekstraktif dalam negeri.

Tiga organisasi masyarakat sipil Indonesia – Aksi Ekologis dan Emansipasi Rakyat (AEER), Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kalimantan Timur, dan Yayasan Indonesia CEAH – mengadakan konferensi pers bersama minggu ini, memperingatkan bahwa ketergantungan Indonesia yang terus berlanjut pada batubara dan ekspansi pertambangan yang terus-menerus melemahkan komitmen Indonesia untuk menghilangkan bahan bakar fosil dan melindungi hutan tropis.

AEER memaparkan temuan terbarunya yang menunjukkan bahwa hingga Januari 2025, terdapat 310 konsesi pertambangan batu bara di Kalimantan Timur dengan luas 1,51 juta hektar. Dari jumlah tersebut, 667.565 hektare berada dalam kawasan hutan, termasuk hutan konservasi dan hutan lindung.

Diperkirakan 507.610 hektar konsesi batu bara yang beroperasi di kawasan hutan dilaporkan tidak memiliki kewajiban Izin Pemanfaatan Kawasan Hutan (PPKH), sehingga berpotensi melanggar peraturan kehutanan dan pertambangan.

Awal tahun ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penegakan Kawasan Hutan yang mengamanatkan pembentukan Satuan Tugas Penegakan Kawasan Hutan. Salah satu aksi pertamanya adalah pengambilalihan lahan seluas 116,9 hektar yang dikelola oleh PT Mahakam Sumber Jaya, bagian dari Harum Energy Group, untuk beroperasi tanpa Izin Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH).

“Citra satelit menunjukkan indikasi adanya aktivitas penambangan di dalam kawasan hutan tanpa PPKH yang dilakukan oleh beberapa perusahaan,” kata Peneliti AEER Riski Saputra dalam paparannya, Rabu, 19 November 2025.

“Hal ini memperkuat perlunya evaluasi komprehensif terhadap seluruh konsesi di dalam dan di sekitar kawasan hutan,” kata Riski.

Riski menambahkan, meskipun penegakan hukum yang dilakukan saat ini merupakan sebuah langkah maju, namun hal tersebut masih belum memadai. “Peraturan ini tidak hanya harus mengatasi pelanggaran yang terjadi, namun juga harus berfungsi sebagai instrumen preventif yang menghilangkan ekosistem hutan utuh dari skema perizinan pertambangan.”

Kelompok ini memperingatkan bahwa tumpang tindih izin pertambangan di kawasan hutan merupakan ancaman besar di tengah semakin cepatnya krisis iklim. Hutan tersebut mengandung cadangan karbon tinggi yang diperkirakan mencapai ratusan juta ton CO₂e yang dapat hilang jika pembukaan hutan untuk pertambangan terus berlanjut.

JATAM Kalimantan Timur menyoroti dampak sosial-lingkungan yang luas dari penambangan batu bara terhadap masyarakat lokal mulai dari polusi debu, pencemaran sungai dan konflik lahan hingga hilangnya wilayah adat.

Banyak desa yang terkena dampak tidak pernah diajak berkonsultasi selama proses perizinan, kata JATAM. Ketika kerusakan lingkungan terjadi, masyarakat “yang berada di garis depan” menghadapi hambatan besar dalam mencari keadilan dan pemulihan.

Koordinator JATAM Kalimantan Timur, Mustari Sihombing, mengatakan tingginya paparan industri ekstraktif, 5,3 juta hektar konsesi batu bara, dan 3,7 juta hektar perkebunan kelapa sawit telah menciptakan lahan subur bagi korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia.

“Ekstraksi batubara telah menghancurkan kehidupan sosial, budaya dan ekonomi di Kalimantan Timur. Bencana yang terkait dengan degradasi lingkungan kini sering terjadi dan menjadi hal yang normal. Meskipun puluhan anak meninggal di lubang-lubang tambang yang terbengkalai, penegakan hukum masih lemah,” kata Mustari.

JATAM mencatat sedikitnya ada 1.735 lubang tambang batu bara yang belum direklamasi. Empat puluh sembilan anak meninggal setelah terjatuh ke dalam lubang ini.

“Lubang-lubang yang terbengkalai telah merampas ruang bermain anak-anak. Namun belum ada perusahaan yang bertanggung jawab,” tambah Mustari.

Yayasan CEAH menggarisbawahi ketidakkonsistenan antara komitmen iklim Indonesia dan perencanaan energi jangka panjang. Meskipun pemerintah telah berjanji untuk beralih dari bahan bakar fosil, Rencana Induk Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) Indonesia masih memproyeksikan ketergantungan pada batu bara setidaknya hingga tahun 2060, tahun yang sama ketika negara tersebut bertujuan untuk mencapai emisi nol bersih.

“Proyeksi RUKN menunjukkan pembangkit listrik tenaga batu bara akan terus berlanjut selama beberapa dekade, yang secara efektif mengunci Indonesia dalam ketergantungan bahan bakar fosil,” kata Manajer Program dan Kebijakan CEAH Wicaksono Gitawan.

Ia mempertanyakan apakah kebijakan transisi energi Indonesia mencerminkan ambisi yang tulus. “Indonesia mendukung Transisi Batubara Global ke Energi Bersih pada COP26, namun implementasinya masih minim. Kini Indonesia menjadi bagian dari inisiatif Transisi Jauh dari Bahan Bakar Fosil (TAFF) pada COP30. Apakah ini akan menjadi komitmen kosong lainnya?”

Wicaksono menegaskan, kemajuan nyata harus terlihat di dalam negeri. “Jika pemerintah serius, daerah-daerah yang bergantung pada bahan bakar fosil harus siap menghadapi transisi yang adil, baik secara sosial maupun ekologis. Transisi energi tidak dapat berubah arah setiap kali pemerintahan berganti.”

AEER mengatakan COP30 adalah momen penting bagi negara ini untuk menunjukkan kepemimpinan iklim yang sejati.

“COP30 memberikan Indonesia kesempatan untuk menunjukkan komitmen yang sebenarnya. Namun hal ini hanya mungkin terjadi jika praktik di dalam negeri mencerminkan tingkat keseriusan yang sama,” kata kelompok tersebut.